Cerita Bokep Seks – Nah untuk itu silakan anda simak cerita dewasa dibawah ini dan sesuai judul diatas bahwa cerita seks ini merupakan sensasi perselingkuhan yang terjadi antara seorang istri dengan seseorang yang sudah dianggap dari bagian keluarga, beginilah cerita nya. Sebagai pasangan suami istri muda yang baru setahun berumah tangga, kehidupan keluarga kami berjalan dengan tenang, apa adanya dan tanpa masalah.
Saya, sebut saja Ratna (23), seorang sarjana ekonomi. Usai tamat kuliah, saya bekerja pada salah satu perusahaan jasa keuangan di Solo. Sebagai wanita, terus terang, saya juga tidak bisa dikatakan tidak menarik. Kulit tubuh saya putih bersih, tinggi 163 cm dan berat 49 kg. Sementara ukuran bra 34B. Cukup bahenol, kata rekan pria di kantor. Sementara, suami saya juga ganteng. Rio namanya. Umurnya tiga tahun diatas saya atau 26 tahun. Bergelar insinyur, ia berkerja pada perusahaan jasa konstruksi. Rio orangnya pengertian dan sabar. Karena sama-sama bekerja, otomatis pertemuan kami lebih banyak setelah sepulang atau sebelum berangkat kerja. Meski begitu, hari-hari kami lalui dengan baik-baik saja. Setiap akhir pekan–bila tidak ada kerja di luar kota–seringkali kami habiskan dengan makan malam di salah satu resto ternama di kota ini. Dan tidak jarang pula, kami menghabiskannya pada sebuah villa di Tawangmangu. Soal hubungan kami, terutama yang berkaitan dengan ‘malam-malam di ranjang’ juga tidak ada masalah yang berarti. Memang tidak setiap malam.
Paling tidak dua kali sepekan, Rio menunaikan tugasnya sebagai suami. Hanya saja, karena suami saya itu sering pulang tengah malam, tentu saja ia tampak capek bila sudah berada di rumah. Bila sudah begitu, saya juga tidak mau terlalu rewel. Juga soal ranjang itu. Bila Rio sudah berkata, “Kita tidur ya,” maka saya pun menganggukkan kepala meski saat itu mata saya masih belum mengantuk. Akibatnya, tergolek disamping tubuh suami–yang tidak terlalu kekar itu-dengan mata yang masih nyalang itu, saya sering-entah mengapa-menghayal. Menghayalkan banyak hal. Tentang jabatan di kantor, tentang anak, tentang hari esok dan juga tentang ranjang. Bila sudah sampai tentang ranjang itu, seringkali pula saya membayangkan saya bergumulan habis-habisan di tempat tidur. Seperti cerita Ani atau Indah di kantor, yang setiap pagi selalu punya cerita menarik tentang apa yang mereka perbuat dengan suami mereka pada malamnya. Tapi sesungguhnya itu hanyalah khayalan menjelang tidur yang menurut saya wajar-wajar saja. Dan saya juga tidak punya pikiran lebih dari itu. Dan mungkin pikiran seperti itu akan terus berjalan bila saja saya tidak bertemu dengan Karyo. Pria itu sehari-hari bekerja sebagai polisi dengan pangkat Briptu. Usianya mungkin sudah 50 tahun. Gemuk, perut buncit dan hitam. Begini ceritanya saya bertemu dengan pria itu. Suatu malam sepulang makan malam di salah satu resto favorit kami, entah mengapa, mobil yang disopiri suami saya menabrak sebuah sepeda motor. Untung tidak terlalu parah betul. Pria yang membawa sepeda motor itu hanya mengalami lecet di siku tangannya. Namun, pria itu marah-marah. “Anda tidak lihat jalan atau bagaimana. Masak menabrak motor saya. Mana surat-surat mobil Anda? Saya ini polisi!” bentak pria berkulit hitam itu pada suami saya.
Baca Juga Cerita Seks Panas : Skandal dengan Guru ku
Mungkin karena merasa bersalah atau takut dengan gertakan pria yang mengaku sebagai polisi itu, suami saya segera menyerahkan surat kendaraan dan SIM-nya. Kemudian dicapai kesepakatan, suami saya akan memperbaiki semua kerusakan motor itu esok harinya. Sementara motor itu dititipkan pada sebuah bengkel. Pria itu sepertinya masih marah. Ketika Rio menawari untuk mengantar ke rumahnya, ia menolak. “Tidak usah. Saya pakai becak saja,” katanya. Esoknya, Rio sengaja pulang kerja cepat. Setelah menjemput saya di kantor, kami pun pergi ke rumah pria gemuk itu. Rumah pria yang kemudian kami ketahui bernama Karyo itu, berada pada sebuah gang kecil yang tidak memungkinkan mobil Opel Blazer suami saya masuk. Terpaksalah kami berjalan dan menitipkan mobil di pinggir jalan. Rumah kontrakan Pak Karyo hanyalah rumah papan. Kecil. Di ruang tamu, kursinya sudah banyak terkelupas, sementara kertas dan koran berserakan di lantai yang tidak pakai karpet. “Ya beginilah rumah saya. Saya sendiri tinggal di sini. Jadi, tidak ada yang membersihkan,” kata Karyo yang hanya pakai singlet dan kain sarung. Setelah berbasa basi dan minta maaf, Rio mengatakan kalau sepeda motor Pak Karyo sudah diserahkan anak buahnya ke salah satu bengkel besar. Dan akan siap dalam dua atau tiga hari mendatang. Sepanjang Rio bercerita, Pak Karyo tampak cuek saja. Ia menaikkan satu kaki ke atas kursi. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja. “Oh begitu ya. Tidak masalah,” katanya. Saya tahu, beberapa kali ia melirikkan matanya ke saya yang duduk di sebelah kiri. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Memandang Pak Karyo, saya bergidik juga.
Badannya besar meski ia juga tidak terlalu tinggi. Lengan tangannya tampak kokoh berisi. Sementara dadanya yang hitam membusung. Dari balik kaosnya yang sudah kusam itu tampak dadanya yang berbulu. Jari tangannya seperti besi yang bengkok-bengkok, kasar. Karyo kemudian bercerita kalau ia sudah puluhan tahun bertugas dan tiga tahun lagi akan pensiun. Sudah hampir tujuh tahun bercerai dengan istrinya. Dua orang anaknya sudah berumah tangga, sedangkan yang bungsu sekolah di Bandung. Ia tidak bercerita mengapa pisah dengan istrinya. Pertemuan kedua, di kantor polisi. Setelah beberapa hari sebelumnya saya habis ditodong saat berhenti di sebuah perempatan lampu merah, saya diminta datang ke kantor polisi. Saya kemudian diberi tahu anggota polisi kalau penodong saya itu sudah tertangkap, tetapi barang-barang berharga dan HP saya sudah tidak ada lagi. Sudah dijual si penodong. Saat mau pulang, saya hampir bertabrakan dengan Pak Karyo di koridor kantor Polsek itu. Tiba-tiba saja ada orang di depan saya. Saya pun kaget dan berusaha mengelak. Karena buru-buru saya menginjak pinggiran jalan beton dan terpeleset. Pria yang kemudian saya ketahui Pak Karyo itu segera menyambar lengan saya. Akibatnya, tubuh saya yang hampir jatuh, menjadi terpuruk dalam pagutan Pak Karyo. Saya merasa berada dalam dekapan tubuh yang kuat dan besar. Dada saya terasa lengket dengan dadanya. Sesaat saya merasakan getaran itu. Tapi tak lama.
“Makanya, jalannya itu hati-hati. Bisa-bisa jatuh masuk got itu,” katanya seraya melepaskan saya dari pelukannya. Saya hanya bisa tersenyum masam sambil bilang terimakasih. Ketika Pak Karyo kemudian menawari minum di kantin, saya pun tidak punya alasan untuk menolaknya. Sambil minum ia banyak bercerita. Tentang motornya yang sudah baik, tentang istri yang minta cerai, tentang dirinya yang disebut orang-orang suka menanggu istri orang. Saya hanya diam mendengarkan ceritanya. Mungkin karena seringkali diam bila bertemu dan ia pun makin punya keberanian, Pak Karyo itu kemudian malah sering datang ke rumah. Datang hanya untuk bercerita. Atau menanyai soal rumah kami yang tidak punya penjaga. Atau tentang hal lain yang semua itu, saya rasakan, hanya sekesar untuk bisa bertemu dengan berdekatan dengan saya. Tapi semua itu setahu suami saya lho. Bahkan, tidak jarang pula Rio terlibat permainan catur yang mengasyikkan dengan Pak Karyo bila ia datang pas ada Rio di rumah. Ketika suatu kali, suami saya ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan, Pak Karyo malah menawarkan diri untuk menjaga rumah. Rio, yang paling tidak selama sepakan di Jakarta, tentu saja gembira dengan tawaran itu. Dan saya pun merasa tidak punya alasan untuk menolak. Meski sedikit kasar, tapi Pak Karyo itu suka sekali bercerita dan juga nanya-nanya. Dan karena kemudian sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri, saya pun tidak pula sungkan untuk berceritanya dengannya. Apalagi, keluarga saya tidak ada yang berada di Solo. Sekali waktu, saya keceplosan. Saya ceritakan soal desakan ibu mertua agar saya segera punya anak. Dan ini mendapat perhatian besar Pak Karyo.
Ia antusias sekali. Matanya tampak berkilau. “Oh ya. Ah, kalau yang itu mungkin saya bisa bantu,” katanya. Ia makin mendekat. “Bagaimana caranya?” tanya saya bingung. “Mudah-mudahan saya bisa bantu. Datanglah ke rumah. Saya beri obat dan sedikit diurut,” kata Pak Karyo pula. Dengan pikiran lurus, setelah sebelumnya saya memberitahu Rio, saya pun pergi ke rumah Pak Karyo. Sore hari saya datang. Saat saya datang, ia juga masih pakai kain sarung dan singlet. Saya lihat matanya berkilat. Pak Karyo kemudian mengatakan bahwa pengobatan yang didapatkannya melalui kakeknya, dilakukan dengan pemijatan di bagian perut. Paling tidak tujuh kali pemijatan, katanya. Setelah itu baru diberi obat. Saya hanya diam. “Sekarang saja kita mulai pengobatannya,” ujarnya seraya membawa saya masuk kamarnya. Kamarnya kecil dan pengap. Jendela kecil di samping ranjang tidak terbuka. Sementara ranjang kayu hanya beralaskan kasur yang sudah menipis. Pak Karyo kemudian memberikan kain sarung. Ia menyuruh saya untuk membuka kulot biru tua yang saya pakai. Risih juga membuka pakaian di depan pria tua itu. “Gantilah,” katanya ketika melihat saya masih bengong. Inilah pertama kali saya ganti pakaian di dekat pria yang bukan suami saya.
Di atas ranjang kayu itu saya disuruh berbaring. “Maaf ya,” katanya ketika tangannya mulai menekan perut saya. Terasa sekali jari-jari tangan yang kasar dan keras itu di perut saya. Ia menyibak bagian bawah baju. Jari tangannya menari-nari di seputar perut saya. Sesekali jari tangannya menyentuh pinggir lipatan paha saya. Saya melihat gerakannya dengan nafas tertahan. Saya berasa bersalah dengan Rio. “Ini dilepas saja,” katanya sambil menarik CD saya. Oops! Saya kaget. “Ya, mengganggu kalau tidak dilepas,” katanya pula. Tanpa menunggu persetujuan saya, Par Karyo menggeser bagian atasnya. Saya merasakan bulu-bulu vagina saya tersentuh tangannya. CD saya pun merosot. Meski ingin menolak, tapi suara saya tidak keluar. Tangan saya pun terasa berat untuk menahan tangannya. Tanpa bicara, Pak Karyo kembali melanjutkan pijatannya. Jari tangan yang kasar kembali bergerilya di bagian perut. Kedua paha saya yang masih rapat dipisahkannya. Tangannya kemudian memijati pinggiran daerah sensitif saya. Tangan itu bolak balik di sana. Sesekali tangan kasar itu menyentuh daerah klitoris saya. Saya rasa ada getaran yang menghentak-hentak. Dari mulut saya yang tertutup, terdengar hembusan nafas yang berat, Pak Karyo makin bersemangat. “Ada yang tidak beres di bagian peranakan kamu,” katanya. Satu tangannya berada di perut, sementara yang lainnya mengusap gundukan yang ditumbuhi sedikit bulu. Tangannya berputar-putar di selangkang saya itu. Saya merasakan ada kenikmatan di sana. Saya merasakan bibir vagina saya pun sudah basah. Kepala saya miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang tidak tertahankan. Tangan kanan Pak Karyo makin berani.
Jari-jari mulai memasuki pinggir liang vagina saya. Ia mengocok-ngocok. Kaki saya menerjang menahan gairah yang melanda. Tangan saya yang mencoba menahan tangannya malah dibawanya untuk meremas payudara saya. Meski tidak membuka BH, namun remasan tangannya mampu membuat panyudara saya mengeras. Uh, saya tidak tahu kalau kain sarung yang saya pakai sudah merosot hingga ujung kaki. CD juga sudah tanggal. Yang saya tahu hanyalah lidah Pak Karyo sudah menjilati selangkang saya yang sudah membanjir. Terdengar suara kecipak becek yang diselingi nafas memburu Pak Karyo. Ini permainan yang baru yang pertama kali saya rasaran. Rio, suami saya, bahkan tidak pernah menyentuh daerah pribadiku dengan mulutnya. Tapi, jilatan Pak Karyo benar-benar membuat dada saya turun naik. Kaki saya yang menerjang kemudian digumulnya dengan kuat, lalu dibawanya ke atas. Sementara kepalanya masih terbenam di selangkangan saya. Benar-benar sensasi yang sangat mengasyikan. Dan saya pun tidak sadar kalau kemudian, tubuh saya mengeras, mengejang, lalu ada yang panas mengalir di vagina saya. Aduh, saya orgasme! Tubuh saya melemas, tulang-tulang ini terasa terlepas. Saya lihat Pak Karyo menjilati rembesan yang mengalir dari vagina. Lalu ditelannya. Bibirnya belepotan air kenikmatan itu. Singletnya pun basah oleh keringat.
Baca Juga Cerita Hot : Seks Dengan Tukang AC
Saya memejamkan mata, sambil meredakan nafas. Sungguh, permainan yang belum pernah saya alami. Pak Karyo naik ke atas ranjang. “Kita lanjutkan,” katanya. Saya disuruhnya telungkup. Tangannya kembali merabai punggung saya. Mulai dari pundah. Lalu terus ke bagian pinggang. Dan ketika tangan itu berada di atas pantat saya, Pak Karyo mulai melenguh. Jari tangannya turun naik di antara anus dan vagina. Berjalan dengan lambat. Ketika pas di lubang anus, jarinya berhenti dengan sedikit menekan. Wow, sangat mengasyikan. Tulang-tulang terasa mengejang. Terus terang, saya menikmatinya dengan mata terpejam. Bila kemudian, terasa benda bulat hangat yang menusuk-nusuk di antara lipatan pantat, saya hanya bisa melenguh. Itu yang saya tunggu-tunggu. Saya rasakan benda itu sangat keras. Benar. Saat saya berbalik, saya lihat kontol Pak Karyo itu. Besar dan hitam. Tampak jelas urat-uratnya. Bulunya pun menghitam lebat. Mulut saya sampai ternganga ketika ujung kontol Pak Karyo mulai menyentuh bibir vagina saya. Perlahan ujungnya masuk. Terasa sempit di vagina saya. Pak Karyo pun menekan dengan perlahan. Ia mengoyangnya. Bibir vagina saya seperti ikut bergoyang keluar masuk mengikuti goyangan kontol Pak Karyo. Hampir sepuluh menit Pak Karyo asik dengan goyangannya.
Saya pun meladeni dengan goyangan. Tubuh kami yang sudah sama-sama telanjang, basah dengan keringat. Kuat juga stamina Pak Karyo. Belum tampak tanda-tanda itunya akan ‘menembak’. Padahal, saya sudah kembali merasakan ujung vagina saya memanas. Tubuh saya mengejang. Dengan sedikit sentakan, maka muncratlah. Berkali-kali. Orgasme yang kedua ini benar-benar terasa memabukkan. Liang vagina saya makin membanjir. Tubuh saya kehilangan tenaga. Saya terkapar. Saya hanya bisa diam saja ketika Pak Karyo masih menggoyang. Beberapa saat kemudian, baru itu sampai pada puncaknya. Ia menghentak dengan kuat. Kakinya menegang. Dengan makin menekan, ia pun memuntahkan seluruh spermanya di dalam vagina saya. Saya tidak kuasa menolaknya. Tubuh besar hitam itu pun ambruk diatas tubuh saya. Luar biasa permainan polisi yang hampir pensiun itu. Apalagi dibandingkan dengan permainan Rio. Sejak saat itu, saya pun ketagihan dengan permainan Pak Karyo. Kami masih sering melakukannya. Kalau tidak di rumahnya, kami juga nginap di Tawangmangu. Meski, kemudian Pak Karyo juga sering minta duit, saya tidak merasa membeli kepuasan syahwat kepadanya. Semua itu saya lakukan, tanpa setahu Rio. Dan saya yakin Rio juga tidak tahu samasekali. Saya merasa berdosa padanya. Tapi, entah mengapa, saya juga butuh belaian keras Pak Karyo itu. Entah sampai kapan.
LARANGAN HUBUNGAN DENGAN ATASANKU
Mbak Lia kurang lebih baru 2 minggu bekerja sebagai atasanku sebagai Accounting Manager, Sebagai atasan baru, ia sering memanggilku ke ruang kerjanya untuk menjelaskan overbudget yang terjadi pada bulan sebelumnya, atau untuk menjelaskan laporan mingguan yang kubuat. Aku sendiri sudah termasuk staf senior. Tapi mungkin karena latar belakang pendidikanku tidak cukup mendukung, management memutuskan merekrutnya. Ia berasal dari sebuah perusahaan konsultan keuangan. Usianya kutaksir sekitar 25 hingga 30 tahun. Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil “Bu”, walau usiaku sendiri 10 tahun di atasnya. Tapi atas permintaanya sendiri, seminggu yang lalu, ia mengatakan lebih suka bila di panggil “Mbak”. Sejak saat itu mulai terbina suasana dan hubungan kerja yang hangat, tidak terlalu formal. Terutama karena sikapnya yang ramah. Ia sering langsung menyebut namaku, sesekali bila sedang bersama rekan kerja lainnya, ia menyebut “Pak”. Dan tanpa kusadari pula, diam-diam aku merasa betah dan nyaman bila memandang wajahnya yang cantik dan lembut menawan. Ia memang menawan karena sepasang bola matanya sewaktu-waktu dapat bernar-binar, atau menatap dengan tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka mendikte. Mungkin karena telah menduduki jabatan yang cukup tinggi dalam usia yang relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup tinggi untuk menyuruh seseorang melaksanakan apa yang diinginkannya. Mbak Lia selalu berpakaian formal. Ia selalu mengenakan blus dan rok hitam yang agak menggantung sedikit di atas lutut.
Bila sedang berada di ruang kerjanya, diam-diam aku pun sering memandang lekukan pinggulnya ketika ia bangkit mengambil file dari rak folder di belakangnya. Walau bagian bawah roknya lebar, tetapi aku dapat melihat pinggul yang samar-samar tercetak dari baliknya. Sangat menarik, tidak besar tetapi jelas bentuknya membongkah, memaksa mata lelaki menerawang untuk mereka-reka keindahannya Di dalam ruang kerjanya yang besar, persis di samping meja kerjanya, terdapat seperangkat sofa yang sering dipergunakannya menerima tamu-tamu perusahaan. Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yang lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya daripada di ruang rapat. Aku merasa beruntung bila dipanggil Mbak Lia untuk membahas cash flow keuangan di kursi sofa itu. Aku selalu duduk persis di depannya. Dan bila kami terlibat dalam pembicaraan yang cukup serius, ia tidak menyadari roknya yang agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Aku dapat melirik sebagian kulit paha yang berwarna gading. Kadang-kadang lututnya agak sedikit terbuka sehingga aku berusaha untuk mengintip ujung pahanya. Tapi mataku selalu terbentur dalam kegelapan. Andai saja roknya tersingkap lebih tinggi dan kedua lututnya lebih terbuka, tentu akan dapat kupastikan apakah bulu-bulu halus yang tumbuh di lengannya juga tumbuh di sepanjang paha hingga ke pangkalnya. Bila kedua lututnya rapat kembali, lirikanku berpindah ke betisnya. Betis yang indah dan bersih. Terawat.
Ketika aku terlena menatap kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh pertanyaan Mbak Lia.. Jhony, aku merasa bahwa kau sering melirik ke arah betisku. Apakah dugaanku salah?” Aku terdiam sejenak sambil tersenyum untuk menyembunyikan jantungku yang tiba-tiba berdebar. “Jhony, salahkah dugaanku?” “Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Mbak Lia tersenyum sambil menatap mataku. “Mengapa?” Aku membisu. Terasa sangat berat menjawab pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap wajahnya, kulihat bola matanya berbinar-binar menunggu jawabanku. “Saya suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Dan..,” setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya. “Saya juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga ditumbuhi bulu-bulu.” “Persis seperti yang kuduga, kau pasti berkata jujur, apa adanya,” kata Mbak Tia sambil sedikit mendorong kursi rodanya. “Agar kau tidak penasaran menduga-duga, bagaimana kalau kuberi kesempatan memeriksanya sendiri?” “Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yang kaku itu. “Kompensasinya apa?” “Sebagai rasa hormat dan tanda terima kasih, akan kuberikan sebuah ciuman.” “Bagus, aku suka. Bagian mana yang akan kau cium?” “Betis yang indah itu!” “Hanya sebuah ciuman?” “Seribu kali pun aku bersedia.” Mbak Tia tersenyum manis dikulum.
Baca Juga Kisah Sex : Istri Yang Terbuai Bujuk Rayuan
Ia berusaha manahan tawanya. “Dan aku yang menentukan di bagian mana saja yang harus kau cium, OK?” “Deal, my lady!” “I like it!” kata Mbak Lia sambil bangkit dari sofa. Ia melangkah ke mejanya lalu menarik kursinya hingga ke luar dari kolong mejanya yang besar. Setelah menghempaskan pinggulnya di atas kursi kursi kerjanya yang besar dan empuk itu, Mbak Lia tersenyum. Matanya berbinar-binar seolah menaburkan sejuta pesona birahi. Pesona yang membutuhkan sanjungan dan pujaan. “Periksalah, Jhony. Berlutut di depanku!” Aku membisu. Terpana mendengar perintahnya. “Kau tidak ingin memeriksanya, Jhony?” tanya Mbak Lia sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya. Sejenak, aku berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku belum pernah diperintah seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh seorang wanita. Bibir Mbak Lia masih tetap tersenyum ketika ia lebih merenggangkan kedua lututnya. “Jhony, kau tahu warna apa yang tersembunyi di pangkal pahaku?” Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yang tiba-tiba merampas sendi-sendi di sekujur tubuhku. Tatapanku terpaku ke dalam keremangan di antara celah lutut Mbak Lia yang meregang. Akhirnya aku bangkit menghampirinya, dan berlutut di depannya. Sebelah lututku menyentuh karpet. Wajahku menengadah. Mbak Tia masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa kali, lalu berpindah ke rambutku, dan sedikit menekan kepalaku agar menunduk ke arah kakinya. “Ingin tahu warnanya?” Aku mengangguk tak berdaya.
“Kunci dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Dan dengan patuh aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya. Mbak Lia menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti bermalas-malasan. Pada saat itulah aku mendapat kesempatan memandang hingga ke pangkal pahanya. Dan kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis berwarna putih. Pasti ia memakai G-String, kataku dalam hati. Sebelum paha kanannya benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih sempat melihat bulu-bulu ikal yang menyembul dari sisi-sisi celana dalamnya. Segitiga tipis yang hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk menyembunyikan semua bulu yang mengitari pangkal pahanya. Bahkan sempat kulirik bayangan lipatan bibir di balik segitiga tipis itu. “Suka?” Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Mbak Lia ke atas lututku. Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu. Mbak Tia mengangguk. Tak ada komentar penolakan. Aku menunduk kembali. Mengelus-elus pergelangan kakinya. Kakinya mulus tanpa cacat. Ternyata betisnya yang berwarna gading itu mulus tanpa bulu halus. Tapi di bagian atas lutut kulihat sedikit ditumbuhi bulu-bulu halus yang agak kehitaman. Sangat kontras dengan warna kulitnya. Aku terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga.., hingga.. Aah, aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak. Wajahku sangat dekat dengan lututnya. Hembusan nafasku ternyata membuat bulu-bulu itu meremang. “Indah sekali,” kataku sambil mengelus-elus betisnya.
Kenyal. “Suka, Jhony?” Aku mengangguk. “Tunjukkan bahwa kau suka. Tunjukkan bahwa betisku indah!” Aku mengangkat kaki Mbak Lia dari lututku. Sambil tetap mengelus betisnya, kuluruskan kaki yang menekuk itu. Aku sedikit membungkuk agar dapat mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yang kedua, aku menjulurkan lidah agar dapat mengecup sambil menjilat, mencicipi kaki indah itu. Akibat kecupanku, Mbak Lia menurunkan paha kanan dari paha kirinya. Dan tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bagian dalam kanannya. Karena ingin melihat lebih jelas, kugigit bagian bawah roknya lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan gigitanku, kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Mbak Lia mengangkat daguku. Aku menengadah. Kurang jelas, Jhony?” Aku mengangguk. Mbak Lia tersenyum nakal sambil mengusap-usap rambutku. Lalu telapak tangannya menekan bagian belakang kepalaku sehingga aku menunduk kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya. Tak pernah aku melihat paha semulus dan seindah itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi bulu-bulu halus kehitaman. Bagian dalamnya juga ditumbuhi tetapi tidak selebat bagian atasnya, dan warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras dengan pahanya yang berwarna gading. Aku merinding.
Karena ingin melihat paha itu lebih utuh, kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalam lututnya. Dan paha itu semakin jelas. Menawan. Di paha bagian belakang mulus tanpa bulu. Karena gemas, kukecup berulang kali. Kecupan-kecupanku semakin lama semakin tinggi. Dan ketika hanya berjarak kira-kira selebar telapak tangan dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yang panas dan basah. Sekarang hidungku sangat dekat dengan segitiga yang menutupi pangkal pahanya. Karena sangat dekat, walau tersembunyi, dengan jelas dapat kulihat bayangan bibir kewanitaannya. Ada segaris kebasahan terselip membayang di bagian tengah segitiga itu. Kebasahan yang dikelilingi rambut-rambut ikal yang menyelip dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan mataku, aku menarik nafas dalam-dalam. Tercium aroma segar yang membuatku menjadi semakin tak berdaya.
Aroma yang memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Mbak Lia. Ingin kusergap aroma itu dan menjilat kemulusannya. Mbak Lia menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha. “Suka Jhony?” “Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke betis dan lutut kirinya. Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, dan meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang lututnya. Mbak Lia menggelinjang sambil menarik rambutku dengan manja. Lalu ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalam dan semakin lama semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras. Dan ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yang menyembul dari balik G-stringnya, tiba-tiba Mbak Lia mendorong kepalaku. Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak lama kemudian, sambil tersenyum menggoda, Mbak Lia menarik telapak kakinya dari pundakku. Ia lalu menekuk dan meletakkan telapak kaki kanannya di permukaan kursi. Pose yang sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk dan terbuka lebar di atas kursi, dan yang sebelah lagi menjuntai ke karpet. Demikianlah cerita seks dewasa Skandal Perselingkuhan Yang Nikmat dan larangan Hubungan dengan Atasan oleh cerita sex hot